Jumat, 15 Januari 2016

Secarik Kenangan Di Gunung Sesean



    
       Rasanya seperti tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Finally... saya bisa datang lagi ditempat ini, tempat yang sangat saya rindukan, kabupaten Tana Toraja. Ini merupakan kali kedua saya datang berkunjung ditempat yang selalu saya katakan sebagai my second homes. Kunjungan kali ini berbeda dari kunjungan sebelumnya. Kali ini saya dan teman-teman semasa sekolah menengah atas bermaksud untuk melakukan pendakian ke salah satu gunung yang sangat terkenal di Tana Toraja yaitu Gunung Sesean. Gunung sesean merupakan gunung yang berada di kecamatan Sesean, Toraja Utara dengan ketinggian 2100 mdpl. Perjalanan menuju Tana Toraja kami mulai pada pagi hari di tanggal 28 Juli 2015 menggunakan sepeda motor dari kecamatan Ponrang kabupaten Luwu. Sebenarnya rencana untuk menapakkan kaki di Gunung Sesean ini sudah kami rencankan dari berminggu minggu dan berbulan-bulan sebelumnya bahkan kami hampir saja berangkat 2 hari setelah Idul Fitri 1436 H. Namun karena beberapa hal seperti kesiapan sebagian teman-teman yang mengaku mau ikut tapi akhirnya tidak jadi :3 dan juga kendala pada beberapa alat serta yang paling bikin greget tingkat tinggi dan bikin tarik ulur yaitu minusnya kendaraan khususnya sepeda motor untuk berangkat sehingga kami baru bisa berangkat pada tanggal 28, sekitar seminggu setelah lebaran.
      Subuh-subuh sekali saya bangun pada tanggal 28 Juli 2015 untuk mengecek BBM dan gila…. Semua pesan diskusi yang dari semalam baru masuk akibat signal dari provider yang saya gunakan lagi trouble dari semalam. Untungnya saya sudah packing barang-barang yang dibutuhkan. Untuk trip pendakian kali ini kami hanya berangkat empat orang saja (dua cewek dan dua cowok), Ugha, Ammink, Fifi, dan saya sendiri Tyka. Untuk Ammink yang kebetulan boncengan dengan saya, saya kasi dua jempol dah soalnya sore kemarin dia baru pulang perjalanan jauh juga dari Utara Kab. Luwu dan paginya langsung tancap gas lagi menuju Tana Toraja. Sekitar pukul 09.15 WITA kami mulai tancap gas menuju Tana Toraja (sebenarnya molor sejam dari kesepakatan). Kami memilih berangkat pagi karena biasanya di daerah puncak kota Palopo ada sweeping gan :D kalau udah siang-siang. Ya….kalau  Ammink katanya surat-surat motornya lengkap tapi Ugha sepertinya tidak memiliki surat kendaraan yang lengkap. Sekitar setengah jam kami akhirnya sampai di kota Palopo. Saya dan Ammink terus ke pom bensin sedangkan Ugha belok kanan jemput si Fifi di kostnya. Sembari menunggu Ugha dan Fifi serta helm (karena saya gak pake Helm), update status dulu deh wekawekaweka :D. Hampir setengah jam kami menunggu Ugha dan Fifi nongol dari balik tikungan jalan dan akhirnya mereka datang juga. Setelah semuanya safety, kami pun go….

SMS dulu pacarnya tawwa....


      Belum memasuki wilayah Tanah Toraja masih daerah puncak Palopo, jalan yang harus kami lewati sudah berkelok-kelok. Untungnya saya bukan tipe orang yang mabuk perjalanan dengan kondisi jalan yang seperti itu jadi aman-aman saja. Setelah beberapa waktu, dari kejauhan terlihat rompi berwarna hijau mengkilat dan jelas saja saya sendiri agak deg-deg (ada Polantas gan :D) dan akhirnya motor yang kami kendarai pun harus berhenti di pinggir jalan. “Mana surat-suratnya?” Ammink pun mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Dan bersamaan dengan itu Ugha tiba-tiba lewat melewati polisi-polisi yang hendak memberhentikannya dengan kecepatan yang lumayan. “Lewatji tawwa Ugha” kataku dalam hati sambil melihat polisi-polisi itu. “Mau kemana ini? Dari mana? Mau pergi kemping y?” (Polisi itu tiba-tiba melihat ke arah saya, izzz. “Iya pak” jawab Ammink. “Dari mana?” Dari Padang Sappa pak” jawab Ammink. “Lewatmi….” kata polisi itu sembari mengembalikan surat-surat kendaraan milik Ammink. Huuft…. hampir saja lembaran-lembaran dalam dompet melayang ditempat itu. Kami akhirnya melanjutkan perjalanan dan beberapa saat kemudian kami pun akhirnya memasuki area kabupaten Tana Toraja yang ditandai dengan suhu dingin dan ornamen-ornamen khas Toraja. Masih dengan jalan yang berkelok-kelok dan suhu dingin serta jurang disamping kanan sesekali saya dan Ammink berbicara singkat sambil melihat ke arah gunung dan hutan yang dipenuhi kabut.
       Sekitar pukul 13.00 WITA kami pun tiba di desa Batutumonga yang merupakan desa terakhir sebelum memulai pendakian. Seperti lirik lagu yang berjudul Ada Cinta Di Toraja, Batutumonga memang memiliki panorama yang sangat indah dan kadang disebut oleh orang orang sebagai negeri diatas awan. Kami memakirkan kendaraan di depan kantor kecamatan yang sepertinya sedang direnovasi. Sembari menyiapkan barang bawaan, kami mengisi perut seadanya dengan bekal yang dibawa Ugha, si anak mami katanya, hahaha. Setelah semuanya siap kami pun berdoa bersama sebelum menapakkan kaki di gunung Sesean. Ini merupakan pertama kalinya bagi saya dan Ammink menapakkan kaki di gunung ini sedangkan Ugha dan Fifi sudah beberapa kali melakukan pendakian di gunung ini. Selama perjalanan menuju pos 1 kami masih sempat bercanda sana sini namun akhirnya ngos-ngosan juga hingga beberapa kali harus beristirahat. Jarak antara pos satu dengan pos lainnya sebenarnya tidak terlalu jauh namun namanya juga gunung pasti menanjak dan bikin capek ditambah dengan berat beban yang dibawa dalam ransel masing-masing. Tak berapa lama kami akhirnya menemukan tangga beton. Fikirku dengan menaiki tangga tidak akan terasa capek tapi sumpah nanjak lewat tangga lebih capek dibandingkan tidak melalui tangga (skefo ini tangga gak sampai puncak loh :D). Jika melihat jalur yang kami lewati boleh saya katakan bahwa jalur menuju puncak gunung Sesean ini tidak terlalu sulit dan sangat jelas tetapi kita tetap harus berhati-hati terutama saat musim hujan karena permukaan tanah bisa menjadi sangat licin. Karena waktu sudah memasuki waktu sholat Dzuhur maka Ugha menyarankan untuk beristirahat dan sholat di pos 3 yang tanahnya agak datar dan juga terdapat sumber air. Namun setelah sampai di pos 3 ternyata sumber airnya kering yang menyebabkan kami mau tidak mau melanjutkan perjalanan ke pos 6 yang merupakan tempat terakhir mendirikan tenda dan juga tempat terakhir terdapat sumber air.
       Berjalan dan terus berjalan membawa semangat dan tekad serta beban untuk mencapai pos 6. Sampai pada suatu tempat yang viewnya agak bagus buat foto, kami akhirnya singgah untuk berfoto sembari melepas lelah. Dari tempat yang kira-kira merupakan pos 4 itu seluruh isi kabupaten Tana Toraja sudah bisa terlihat meskipun kami belum berada di puncak. Satu hal yang tak pernah saya lupa dan membuat saya tertawa terus menerus sepanjang perjalanan yaitu candaan kami tentang “Ipha” ceweknya si Ammink. Katanya sih dia kangen Ipha dari ketinggian ini :D. Kebetulan si doi tidak ikut dalan pendakian ini jadi kami jadikan Ipha dan Ammink sendiri sebagai bahan candaan. Kalau mau dibilang di bully tidak juga karena saya fikir ini cuma pengibur lelah tapi saya fikir-fikir lagi ini juga kayak ajang curhatan Ammink sih sebenarnya lewat candaan-candaan yang terlontar tentang si doi. Dan juga perdebatan kecil namun sering antara Ugha dan Fifi, walaupun intensitas keduanya untuk bertemu sangat besar di luar pendakian ini namun karena emang dasar sifatnya Ugha yang suka bikin jengkel akhirnya setiap saat muncul perdebatan-perdebatan kecil yang mengundang tawa bagi saya.
      Beberapa saat kemudian kami pun sampai pada area yang dijuluki sebagai area “Bob Marley”. Ha??? Emang sejak kapan Bob Marley pindah ke Toraja? Ya sejak ada batu yang katanya mirip sama Bob Marley. Selain itu dari puncak batu ini kita bisa melihat sunrise, sunsilk, dan sunset secara bersamaan. Tapi tergantung cuaca juga. Nah!!! disini awal cerita mistis yang kami alami dan belakangan setelah pulang baru saya ketahui. Sekitar sejam lebih kami tersesat dan tak menemukan jalan menuju pos 6. Why? Padahal kami bersama penunjuk jalan yang sudah lalu lalang melintasi tempat ini. Dari cerita yang saya peroleh dari seseorang, ternyata kebanyakan pendaki yang baru datang ke tempat itu akan dibuat tersesat terlebih dahulu apalagi jika ia bukan orang Toraja asli. Selain itu, para pendaki yang memakai baju dan celana hitam terutama jika memakai baju hitam akan tersesat ditempat ini. Mereka akan sulit menemukan jalan menuju pos selanjutnya sampai ada pendaki lain yang datang. Nginkk…. pantas saja kami tersesat karena kami boleh dibilang pasukan hitam, terutama saya sendiri pake baju dan celana hitam. Namun percaya atau tidak percaya tentang hal ini itu kembali lagi pada pribadi masing-masing. Setelah menemukan jalan keluar kami pun melanjutkan perjalanan dengan sisa-sisa tenaga yang terkuras akibat naik turun karena tersesat dan finally kami sampai di pos 6, pos yang diimpikan sejak tadi. Tak ada rombongan pendaki lain selain kami saat kami baru saja tiba namun lama kelamaan ternyata di ujung sudah ada rombongan pendaki yang sepertinya mereka berada disana sejak semalam. Aku melirik jam di ponselku dan waktu sudah menunjukkan pukul 16.49 WITA. Hampir 4 jam kami melakukan pendakian sampai pos 6. Setelah meletakkan carrier 45 liter yang akhirnya menjadi carrier 80 liter, dengan segera Ammink berlari ke pusat air mengikuti Ugha. Kami segera mendirikan tenda dan melakukan sholat dzuhur dan ashar secara jamak. Sepertinya kami kurang beruntung sunset sore itu kurang sempurna dikarenakan cuaca yang buruk ditambah kabut yang terlalu cepat datang. Setelah beres-beres kami pun segera memasak dan mengisi perut yang sekitar 4 jam sudah bekerja keras agar tidak kelaparan. Dan bersamaan dengan itu udara dingin pun mulai datang. Brrrr…. asli dingin banget. Mie rebus yang tadinya sangat panas selang 4 menit langsung menjadi dingin sedingin makanan dari kulkas. 


Mari makan...... :D

    
       Setelah tubuh agak bersahabat dengan cuaca yang sangat dingin, saya langsung memanjat menaiki batu yang tepat berada di depan tenda kami dengan harapan sunset akan muncul. Wow…. dari batu ini kita bisa melihat seisi Tana Toraja yang kadang kala ditutupi kabut. Sendiri saja pastinya. Namun beberapa menit kemudian Ammink pun datang menemani disusul Ugha. 

Sekitar pukul 6 sore Ugha mengajak kami ke tempat yang lebih tinggi lagi untuk mengambil beberapa foto sebelum matahari betul-betul kembali ke peraduannya. Dan wow…. Lagi-lagi dari atas sini kita bisa memandang dan menyaksikan keindahan Tana Toraja yang tidak akan terlupakan.



Kami pun kembali ke tenda dan bersiap-siap sholat maghrib dan memasak makan malam. Brrr…. sumpah air disini dingin banget. Setelah makanan siap kami pun makan malam diatas batu yang pas berada di depan tenda. Pemandangan dari atas sini sungguh sangat indah. Kerlap kerlip lampu rumah penduduk menghiasi malam yang sangat gelap. Terdapat satu titik dimana lampu-lampu menyala dengan terangnya. Mungkin itu adalah kota Makale karena setahu saya kota Makale setiap malamnya selalu ramai.
      Malam menunjukkan pukul 20.00 WITA dan Perlahan kabut terlihat seakan mumbungkus seluruh kota. Saat itu saya dan Ammink masih setia memandangi cahaya lampu-lampu itu entah berkurang atau bertambah dan sesekali angin berhembus yang semakin menambah dingin cuaca malam itu. Pembahasan kami pun ngelantur sana sini namun tetap asik menurutku. Satu hal entah itu pertanyaan atau pernyataan yang saya ajukan ke Ammink, saya bilang begini “Pasti banyak orang yang beranggapan bahwa orang-orang yang pergi mendaki kayak gini dinggap bodo’-bodo’ karena cuma pergi capek, habiskan uang, dan tak ada gunanya”. “Yah pastilah ada orang yang beranggapan seperti itu tapi karena kusuka dan bisa membuat senang jadi ya tidak masalah” kata Ammink. Memang bagi sebagian orang pasti melakukan kegiatan outdoor seperti ini tak ada gunanya namun hampir sama dengan pendapat Ammink bahwa saya suka pergi seperti ini dan saya mendapatkan suatu kepuasan yang tak bisa dibeli dengan apapun. Waktu pun menunjukkan pukul 10 malam dan akhirnya kami turun menuju tenda untuk beristirahat. Semakin malam suhu udara semakin dingin disertai dengan hujan yang tak terlalu deras dan sumpah saya sangat berharap malam itu berakhir dengan cepat dan segera menemui hangat matahari pagi. Bukan karena apa tapi karena suhu dingin yang seakan menusuk sampai ke tulang.
      Sekitar pukul 5 pagi WITA, terdengar candaan cowok-cowok dari tenda di seberang sana, saya fikir hari sudah terang namun kenyataannya tidak. Saya pun bangun dan duduk menunggu hari terang. Ammink pun bangun disusul Ugha dan segera kami menuju sumber air mencuci peralatan lalu memasak ditengah hujan dan kabut tebal. Setelah sarapan, mereka bertiga kembali tertidur namun saya sudah tidak bisa tidur lagi. Hujan malah awet disertai dengan kabut tebal disekeliling area camp. Beberapa kali saya mencoba membawa diri keluar dari tenda namun akhirnya hanya beberapa menit kemudian berlari masuk kedalam tenda lagi. Udara masih terlalu dingin buat beraktivitas menurutku. Menunggu memang sesuatu yang waw apalagi menunggu kabut pergi dan hujan berhenti. Tepat pukul 12.00 WITA  hujan dan kabut akhirnya digantikan oleh hangat cahaya matahari. Rombongan cowok-cowok di tenda seberang akhirnya bersiap-siap untuk pulang sedangkan kami bersiap-siap menuju puncak. Sebenarnya ada beberapa hal yang belakangan saya ketahui yang membuat kabut lama pergi salah satunya yaitu membawa peralatan masak ke sumber air dan mengisi langsung botol minum di sumber air khususnya sumber air si pos 6 yang dimana sebaiknya jangan dilakukan jika tak ingin menunggu kabut dan mengacaukan jadwal selanjutnya.

Akhirnya..... matahari pun muncul.

      


Perjalanan menuju puncak hanya memakan waktu sekitar satu jam. Tracknya pun tidak terlalu sulit namun harus tetap hati-hati karena disisi kanan dan kiri terdapat jurang. Akhirnya sebuah batu besar terlihat. Saya fikir itu merupakan puncak namun ternyata puncak yang sebenarnya terdapat dibelakang tebing yang berada di depan kami. Kami pun melanjutkan perjalanan yang ternyata tidak terlalu jauh dan akhirnya kami sampai di puncak gunung Sesean tepatnya di pos 9. Sebenarnya terdapat 12 pos namun kebanyakan orang hanya sampai pada pos 9. Orang yang pertama sampai diantara kami berempat diatas puncak adalah Ammink. Sumpah ini orang kayaknya gak pernah capek. Disusul dengan saya yang akhirnya sampai diatas puncak. Saking senangnya akhirnya bisa sampai di puncak saya pun berteriak ke sekeliling dan langsung foto-foto. Beberapa waktu kemudian Ugha dan Fifi pun akhirnya sampai juga. Kami pun bergantian mengambil gambar dari berbagai sudut untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Yang paling bikin greget yaitu saat saya harus mengambil gambar Ammink yang memegang bendera dimana benderanya gak mau berkibar gara-gara intensitas angin yang berhembus sangat kurang. Saya pun kemudian duduk di pinggir dan memandang ke segala arah mencoba menikmati keindahan Tana Toraja sekali lagi dari puncak sebelum turun. Beberapa menit kemudian kabut pun datang dengan sangat tebal dan mengacaukan pandangan saya.















Namun ini menjadi pemandangan yang lain lagi karena sumpah menyaksikan kabut datang dan berhembus dari atas puncak itu sangat keren. Satu hal lagi yang sangat keren yang terjadi di pos ini yaitu saat kita mencoba membuang botol minuman ataupun bungkus snack pasti benda-benda itu akan turun dan kemudian naik kembali dan terbang ke arah samping kita. Ya mungkin ini pengaruh kabut yang berhembus kencang dan angin ditempat ini. Setelah puas menikmati pemandangan ditempat ini kami pun bersiap-siap turun kembali ke pos 6. Selama perjalanan turun saya mengalami trouble di bagian pergelangan kaki yang menyebabkan saya harus berjalan lebih pelan dan akhirnya tertinggal. Namun demikian saya mencoba tetap tenang mengikuti jalan. Saya mendengar Ammink memanggil saya dan akhirnya saya cukup bisa bernafas lega karena akhirnya saya sampai di pos 6. Saya fikir tenda sudah di bongkar namun kenyataannya belum. Setelah sholat dzuhur kami pun makan dan setelah itu kami packing barang-barang dan membongkar tenda dan kemudian bersiap-siap untuk turun kembali. Sepanjang perjalanan turun kabut pun  kembali datang menemani perjalanan kami. Tracknya pun agak sedikit licin karena habis hujan walaupun tidak terlalu deras. Lagi-lagi saya harus berjalan sendiri ketika sudah setengah perjalanan turun karena pergelangan kaki saya masih sakit dan ada hal yang bikin deg-degan ketika saya harus melewati pemukiman penduduk dan tiba-tiba saya dihadang beberapa ekor anjing. Saya pun hampir berlari kembali ke atas gunung namun ada seorang ibu-ibu yang memanggil anjing-anjing tersebut dan akhirnya saya pun bergegas berlari menjauhi area tersebut. Akhirnya saya pun sampai di tempat kami memarkir motor dan kami pun bersiap-siap untuk kembali ke kabupaten Luwu. Sebelum kembali tak lengkap rasanya jika tidak membeli oleh-oleh khas Tana Toraja. Apalagi Ammink yang sedari diatas puncak sangat ngotot untuk singgah ditempat souvenir terlebih dahulu sebelum pulang. Kami pun menuju daerah wisata Ke’te Kesu mencari souvenir namun toko yang terbuka tinggal satu itupun sudah mau tutup. Karena tidak puas terutama Ammink yang kebetulan mau cari gelang couple maka dia pun bertekad mencari toko souvenir sepanjang jalan sampai dapat. Ya saya nurut aja karena kebetulan saya dibonceng sama Ammink. Sebenarnya kami masih mau ngecamp di Toraja dan keesokan harinya baru jalan-jalan nyari souvenir namun karena Ugha yang sudah ngotot pengen pulang akhirnya kami pulang. Kami pun menemukan toko yang berjejeran dipinggir jalan tak jauh pos polisi di Rantepao yang menjual sangat banyak souvenir khas Toraja. “Sial… kenapa tidak diliat ini tempat dari tadi” kataku sambil turun dari motor. Padahal kami melewati toko-toko itu ketika menuju Ke’te Kesu. Saya dan Ammink pun berjalan dari satu toko ke toko yang lain dan mencari barang yang disukai. Sepertinya Ugha dan Fifi sudah lewat dan meninggalkan kami karena mereka sebenarnya tidak tau kami singgah. Namun kami tetap mencari sampai dapat gelang yang dicari Ammink dari tadi walaupun kami harus terpisah dengan Ugha dan Fifi. Setelah dapat akhirnya kami berdua pergi mencari Ugha dan Fifi barangkali saja mereka menunggu kami di depan. Namun sepertinya tidak dan akhirnya kami memutuskan untuk pulang berdua saja. Sepanjang perjalanan pulang, kami tak banyak bicara karena kami fokus pada fikiran masing-masing. Jalan sangat gelap dan sunyi. Tak banyak lampu jalan dan rumah penduduk pun jarang. Hal yang ada dalam fikiranku dengan kondisi saat itu yaitu apa yang akan kami lakukan jika motor yang kami kendarai tiba-tiba trouble ditambah handphone yang mati sejak di puncak gunung tadi. Saya sengaja batuk-batuk dan membuat suara-suara lainnya hanya untuk memecah kesunyian dan fikiran macam-macam sepanjang jalan. Perjalanan yang menegangkan selama kurang lebih 3 jam akhirnya berakhir setelah kami memasuki area kota Palopo. Laju motor yang tadinya kencang akhirnya melambat dan akhirnya suara Ammink tiba-tiba memecah kesunyian dibawah remang-remang lampu kota. Masih membahas rencana di Toraja tadi buat camp satu malam lagi namun apa daya tidak untuk kali ini.
       Hmmm… saya mengucapkan terima kasih buat teman-teman yang rasanya sudah saya anggap sebagai saudara untuk trip kali ini yang sangat menyenangkan. Semoga kita bisa melakukan perjalanan dan petualangan berikutnya. Terima kasih juga buat Tuhan yang telah menciptakan bumi yang indah. Terima kasih telah menciptakan Tana Toraja. Dan saya pun berharap bisa kembali datang ke tempat ini di lain waktu. See u soon!

1 komentar: