Rasanya seperti tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Finally... saya bisa datang lagi ditempat ini, tempat yang sangat saya rindukan, kabupaten Tana Toraja. Ini merupakan kali kedua saya datang berkunjung ditempat yang selalu saya katakan sebagai my second homes. Kunjungan kali ini berbeda dari kunjungan sebelumnya. Kali ini saya dan teman-teman semasa sekolah menengah atas bermaksud untuk melakukan pendakian ke salah satu gunung yang sangat terkenal di Tana Toraja yaitu Gunung Sesean. Gunung sesean merupakan gunung yang berada di kecamatan Sesean, Toraja Utara dengan ketinggian 2100 mdpl. Perjalanan menuju Tana Toraja kami mulai pada pagi hari di tanggal 28 Juli 2015 menggunakan sepeda motor dari kecamatan Ponrang kabupaten Luwu. Sebenarnya rencana untuk menapakkan kaki di Gunung Sesean ini sudah kami rencankan dari berminggu minggu dan berbulan-bulan sebelumnya bahkan kami hampir saja berangkat 2 hari setelah Idul Fitri 1436 H. Namun karena beberapa hal seperti kesiapan sebagian teman-teman yang mengaku mau ikut tapi akhirnya tidak jadi :3 dan juga kendala pada beberapa alat serta yang paling bikin greget tingkat tinggi dan bikin tarik ulur yaitu minusnya kendaraan khususnya sepeda motor untuk berangkat sehingga kami baru bisa berangkat pada tanggal 28, sekitar seminggu setelah lebaran.
Subuh-subuh sekali saya bangun pada tanggal 28 Juli 2015 untuk mengecek BBM dan
gila…. Semua pesan diskusi yang dari semalam baru masuk akibat signal dari
provider yang saya gunakan lagi trouble dari semalam. Untungnya saya sudah
packing barang-barang yang dibutuhkan. Untuk trip pendakian kali ini kami hanya
berangkat empat orang saja (dua cewek dan dua cowok), Ugha, Ammink, Fifi, dan
saya sendiri Tyka. Untuk Ammink yang kebetulan boncengan dengan saya, saya kasi
dua jempol dah soalnya sore kemarin dia baru pulang perjalanan jauh juga dari
Utara Kab. Luwu dan paginya langsung tancap gas lagi menuju Tana Toraja.
Sekitar pukul 09.15 WITA kami mulai tancap gas menuju Tana Toraja (sebenarnya
molor sejam dari kesepakatan). Kami memilih berangkat pagi karena biasanya di
daerah puncak kota Palopo ada sweeping gan :D kalau udah siang-siang.
Ya….kalau Ammink katanya surat-surat motornya lengkap tapi Ugha
sepertinya tidak memiliki surat kendaraan yang lengkap. Sekitar setengah jam
kami akhirnya sampai di kota Palopo. Saya dan Ammink terus ke pom bensin sedangkan
Ugha belok kanan jemput si Fifi di kostnya. Sembari menunggu Ugha dan Fifi serta
helm (karena saya gak pake Helm), update status dulu deh wekawekaweka :D.
Hampir setengah jam kami menunggu Ugha dan Fifi nongol dari balik tikungan
jalan dan akhirnya mereka datang juga. Setelah semuanya safety, kami pun go….
SMS dulu pacarnya
tawwa....
|
Belum memasuki wilayah Tanah Toraja masih daerah puncak Palopo, jalan yang
harus kami lewati sudah berkelok-kelok. Untungnya saya bukan tipe orang yang
mabuk perjalanan dengan kondisi jalan yang seperti itu jadi aman-aman saja.
Setelah beberapa waktu, dari kejauhan terlihat rompi berwarna hijau mengkilat
dan jelas saja saya sendiri agak deg-deg (ada Polantas gan :D) dan akhirnya
motor yang kami kendarai pun harus berhenti di pinggir jalan. “Mana
surat-suratnya?” Ammink pun mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Dan bersamaan
dengan itu Ugha tiba-tiba lewat melewati polisi-polisi yang hendak
memberhentikannya dengan kecepatan yang lumayan. “Lewatji tawwa Ugha” kataku
dalam hati sambil melihat polisi-polisi itu. “Mau kemana ini? Dari mana? Mau
pergi kemping y?” (Polisi itu tiba-tiba melihat ke arah saya, izzz. “Iya pak”
jawab Ammink. “Dari mana?” Dari Padang Sappa pak” jawab Ammink. “Lewatmi….”
kata polisi itu sembari mengembalikan surat-surat kendaraan milik Ammink.
Huuft…. hampir saja lembaran-lembaran dalam dompet melayang ditempat itu. Kami
akhirnya melanjutkan perjalanan dan beberapa saat kemudian kami pun akhirnya
memasuki area kabupaten Tana Toraja yang ditandai dengan suhu dingin dan
ornamen-ornamen khas Toraja. Masih dengan jalan yang berkelok-kelok dan suhu
dingin serta jurang disamping kanan sesekali saya dan Ammink berbicara singkat
sambil melihat ke arah gunung dan hutan yang dipenuhi kabut.
Sekitar pukul 13.00 WITA kami pun tiba di desa Batutumonga yang merupakan desa
terakhir sebelum memulai pendakian. Seperti lirik lagu yang berjudul Ada Cinta
Di Toraja, Batutumonga memang memiliki panorama yang sangat indah dan kadang
disebut oleh orang orang sebagai negeri diatas awan. Kami memakirkan kendaraan
di depan kantor kecamatan yang sepertinya sedang direnovasi. Sembari menyiapkan
barang bawaan, kami mengisi perut seadanya dengan bekal yang dibawa Ugha, si
anak mami katanya, hahaha. Setelah semuanya siap kami pun berdoa bersama
sebelum menapakkan kaki di gunung Sesean. Ini merupakan pertama kalinya bagi
saya dan Ammink menapakkan kaki di gunung ini sedangkan Ugha dan Fifi sudah
beberapa kali melakukan pendakian di gunung ini. Selama perjalanan menuju pos 1
kami masih sempat bercanda sana sini namun akhirnya ngos-ngosan juga hingga
beberapa kali harus beristirahat. Jarak antara pos satu dengan pos lainnya
sebenarnya tidak terlalu jauh namun namanya juga gunung pasti menanjak dan
bikin capek ditambah dengan berat beban yang dibawa dalam ransel masing-masing.
Tak berapa lama kami akhirnya menemukan tangga beton. Fikirku dengan menaiki
tangga tidak akan terasa capek tapi sumpah nanjak lewat tangga lebih capek
dibandingkan tidak melalui tangga (skefo ini tangga gak sampai puncak loh :D).
Jika melihat jalur yang kami lewati boleh saya katakan bahwa jalur menuju
puncak gunung Sesean ini tidak terlalu sulit dan sangat jelas tetapi kita tetap
harus berhati-hati terutama saat musim hujan karena permukaan tanah bisa
menjadi sangat licin. Karena waktu sudah memasuki waktu sholat Dzuhur maka Ugha
menyarankan untuk beristirahat dan sholat di pos 3 yang tanahnya agak datar dan
juga terdapat sumber air. Namun setelah sampai di pos 3 ternyata sumber airnya
kering yang menyebabkan kami mau tidak mau melanjutkan perjalanan ke pos 6 yang
merupakan tempat terakhir mendirikan tenda dan juga tempat terakhir terdapat
sumber air.
Berjalan dan terus berjalan membawa semangat dan tekad serta beban untuk
mencapai pos 6. Sampai pada suatu tempat yang viewnya agak bagus buat foto,
kami akhirnya singgah untuk berfoto sembari melepas lelah. Dari tempat yang
kira-kira merupakan pos 4 itu seluruh isi kabupaten Tana Toraja sudah bisa
terlihat meskipun kami belum berada di puncak. Satu hal yang tak pernah saya
lupa dan membuat saya tertawa terus menerus sepanjang perjalanan yaitu candaan
kami tentang “Ipha” ceweknya si Ammink. Katanya sih dia kangen Ipha dari
ketinggian ini :D. Kebetulan si doi tidak ikut dalan pendakian ini jadi kami
jadikan Ipha dan Ammink sendiri sebagai bahan candaan. Kalau mau dibilang di
bully tidak juga karena saya fikir ini cuma pengibur lelah tapi saya
fikir-fikir lagi ini juga kayak ajang curhatan Ammink sih sebenarnya lewat
candaan-candaan yang terlontar tentang si doi. Dan juga perdebatan kecil namun
sering antara Ugha dan Fifi, walaupun intensitas keduanya untuk bertemu sangat
besar di luar pendakian ini namun karena emang dasar sifatnya Ugha yang suka
bikin jengkel akhirnya setiap saat muncul perdebatan-perdebatan kecil yang
mengundang tawa bagi saya.
Beberapa saat kemudian kami pun sampai pada area yang dijuluki sebagai area
“Bob Marley”. Ha??? Emang sejak kapan Bob Marley pindah ke Toraja? Ya sejak ada
batu yang katanya mirip sama Bob Marley. Selain itu dari puncak batu ini kita
bisa melihat sunrise, sunsilk, dan sunset secara bersamaan. Tapi tergantung
cuaca juga. Nah!!! disini awal cerita mistis yang kami alami dan belakangan
setelah pulang baru saya ketahui. Sekitar sejam lebih kami tersesat dan tak
menemukan jalan menuju pos 6. Why? Padahal kami bersama penunjuk jalan yang
sudah lalu lalang melintasi tempat ini. Dari cerita yang saya peroleh dari
seseorang, ternyata kebanyakan pendaki yang baru datang ke tempat itu akan
dibuat tersesat terlebih dahulu apalagi jika ia bukan orang Toraja asli. Selain
itu, para pendaki yang memakai baju dan celana hitam terutama jika memakai baju
hitam akan tersesat ditempat ini. Mereka akan sulit menemukan jalan menuju pos
selanjutnya sampai ada pendaki lain yang datang. Nginkk…. pantas saja kami
tersesat karena kami boleh dibilang pasukan hitam, terutama saya sendiri pake
baju dan celana hitam. Namun percaya atau tidak percaya tentang hal ini itu
kembali lagi pada pribadi masing-masing. Setelah menemukan jalan keluar kami
pun melanjutkan perjalanan dengan sisa-sisa tenaga yang terkuras akibat naik
turun karena tersesat dan finally kami sampai di pos 6, pos yang diimpikan
sejak tadi. Tak ada rombongan pendaki lain selain kami saat kami baru saja tiba
namun lama kelamaan ternyata di ujung sudah ada rombongan pendaki yang
sepertinya mereka berada disana sejak semalam. Aku melirik jam di ponselku dan
waktu sudah menunjukkan pukul 16.49 WITA. Hampir 4 jam kami melakukan pendakian
sampai pos 6. Setelah meletakkan carrier 45 liter yang akhirnya menjadi carrier
80 liter, dengan segera Ammink berlari ke pusat air mengikuti Ugha. Kami segera
mendirikan tenda dan melakukan sholat dzuhur dan ashar secara jamak. Sepertinya
kami kurang beruntung sunset sore itu kurang sempurna dikarenakan cuaca yang
buruk ditambah kabut yang terlalu cepat datang. Setelah beres-beres kami pun
segera memasak dan mengisi perut yang sekitar 4 jam sudah bekerja keras agar
tidak kelaparan. Dan bersamaan dengan itu udara dingin pun mulai datang.
Brrrr…. asli dingin banget. Mie rebus yang tadinya sangat panas selang 4 menit
langsung menjadi dingin sedingin makanan dari kulkas.
Mari makan......
:D
|
Setelah tubuh agak bersahabat dengan cuaca yang sangat dingin, saya langsung memanjat menaiki batu yang tepat berada di depan tenda kami dengan harapan sunset akan muncul. Wow…. dari batu ini kita bisa melihat seisi Tana Toraja yang kadang kala ditutupi kabut. Sendiri saja pastinya. Namun beberapa menit kemudian Ammink pun datang menemani disusul Ugha.
Sekitar pukul
6 sore Ugha mengajak kami ke tempat yang lebih tinggi lagi untuk mengambil
beberapa foto sebelum matahari betul-betul kembali ke peraduannya. Dan wow….
Lagi-lagi dari atas sini kita bisa memandang dan menyaksikan keindahan Tana
Toraja yang tidak akan terlupakan.
Kami pun
kembali ke tenda dan bersiap-siap sholat maghrib dan memasak makan malam.
Brrr…. sumpah air disini dingin banget. Setelah makanan siap kami pun makan
malam diatas batu yang pas berada di depan tenda. Pemandangan dari atas sini
sungguh sangat indah. Kerlap kerlip lampu rumah penduduk menghiasi malam yang
sangat gelap. Terdapat satu titik dimana lampu-lampu menyala dengan terangnya.
Mungkin itu adalah kota Makale karena setahu saya kota Makale setiap malamnya
selalu ramai.
Malam menunjukkan pukul 20.00 WITA dan Perlahan kabut terlihat seakan
mumbungkus seluruh kota. Saat itu saya dan Ammink masih setia memandangi cahaya
lampu-lampu itu entah berkurang atau bertambah dan sesekali angin berhembus
yang semakin menambah dingin cuaca malam itu. Pembahasan kami pun ngelantur
sana sini namun tetap asik menurutku. Satu hal entah itu pertanyaan atau
pernyataan yang saya ajukan ke Ammink, saya bilang begini “Pasti banyak orang
yang beranggapan bahwa orang-orang yang pergi mendaki kayak gini dinggap
bodo’-bodo’ karena cuma pergi capek, habiskan uang, dan tak ada gunanya”. “Yah
pastilah ada orang yang beranggapan seperti itu tapi karena kusuka dan bisa
membuat senang jadi ya tidak masalah” kata Ammink. Memang bagi sebagian orang
pasti melakukan kegiatan outdoor seperti ini tak ada gunanya namun hampir sama
dengan pendapat Ammink bahwa saya suka pergi seperti ini dan saya mendapatkan
suatu kepuasan yang tak bisa dibeli dengan apapun. Waktu pun menunjukkan pukul
10 malam dan akhirnya kami turun menuju tenda untuk beristirahat. Semakin malam
suhu udara semakin dingin disertai dengan hujan yang tak terlalu deras dan
sumpah saya sangat berharap malam itu berakhir dengan cepat dan segera menemui
hangat matahari pagi. Bukan karena apa tapi karena suhu dingin yang seakan menusuk
sampai ke tulang.
Sekitar pukul 5
pagi WITA, terdengar candaan cowok-cowok dari tenda di seberang sana, saya
fikir hari sudah terang namun kenyataannya tidak. Saya pun bangun dan duduk
menunggu hari terang. Ammink pun bangun disusul Ugha dan segera kami menuju
sumber air mencuci peralatan lalu memasak ditengah hujan dan kabut tebal.
Setelah sarapan, mereka bertiga kembali tertidur namun saya sudah tidak bisa
tidur lagi. Hujan malah awet disertai dengan kabut tebal disekeliling area
camp. Beberapa kali saya mencoba membawa diri keluar dari tenda namun akhirnya
hanya beberapa menit kemudian berlari masuk kedalam tenda lagi. Udara masih
terlalu dingin buat beraktivitas menurutku. Menunggu memang sesuatu yang waw
apalagi menunggu kabut pergi dan hujan berhenti. Tepat pukul 12.00 WITA
hujan dan kabut akhirnya digantikan oleh hangat cahaya matahari. Rombongan
cowok-cowok di tenda seberang akhirnya bersiap-siap untuk pulang sedangkan kami
bersiap-siap menuju puncak. Sebenarnya ada beberapa hal yang belakangan saya
ketahui yang membuat kabut lama pergi salah satunya yaitu membawa peralatan
masak ke sumber air dan mengisi langsung botol minum di sumber air khususnya
sumber air si pos 6 yang dimana sebaiknya jangan dilakukan jika tak ingin
menunggu kabut dan mengacaukan jadwal selanjutnya. Perjalanan menuju puncak hanya memakan waktu sekitar satu jam. Tracknya pun tidak terlalu sulit namun harus tetap hati-hati karena disisi kanan dan kiri terdapat jurang. Akhirnya sebuah batu besar terlihat. Saya fikir itu merupakan puncak namun ternyata puncak yang sebenarnya terdapat dibelakang tebing yang berada di depan kami. Kami pun melanjutkan perjalanan yang ternyata tidak terlalu jauh dan akhirnya kami sampai di puncak gunung Sesean tepatnya di pos 9. Sebenarnya terdapat 12 pos namun kebanyakan orang hanya sampai pada pos 9. Orang yang pertama sampai diantara kami berempat diatas puncak adalah Ammink. Sumpah ini orang kayaknya gak pernah capek. Disusul dengan saya yang akhirnya sampai diatas puncak. Saking senangnya akhirnya bisa sampai di puncak saya pun berteriak ke sekeliling dan langsung foto-foto. Beberapa waktu kemudian Ugha dan Fifi pun akhirnya sampai juga. Kami pun bergantian mengambil gambar dari berbagai sudut untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Yang paling bikin greget yaitu saat saya harus mengambil gambar Ammink yang memegang bendera dimana benderanya gak mau berkibar gara-gara intensitas angin yang berhembus sangat kurang. Saya pun kemudian duduk di pinggir dan memandang ke segala arah mencoba menikmati keindahan Tana Toraja sekali lagi dari puncak sebelum turun. Beberapa menit kemudian kabut pun datang dengan sangat tebal dan mengacaukan pandangan saya.
Namun ini
menjadi pemandangan yang lain lagi karena sumpah menyaksikan kabut datang dan
berhembus dari atas puncak itu sangat keren. Satu hal lagi yang sangat keren
yang terjadi di pos ini yaitu saat kita mencoba membuang botol minuman ataupun
bungkus snack pasti benda-benda itu akan turun dan kemudian naik kembali dan
terbang ke arah samping kita. Ya mungkin ini pengaruh kabut yang berhembus
kencang dan angin ditempat ini. Setelah puas menikmati pemandangan ditempat ini
kami pun bersiap-siap turun kembali ke pos 6. Selama perjalanan turun saya
mengalami trouble di bagian pergelangan kaki yang menyebabkan saya harus
berjalan lebih pelan dan akhirnya tertinggal. Namun demikian saya mencoba tetap
tenang mengikuti jalan. Saya mendengar Ammink memanggil saya dan akhirnya saya
cukup bisa bernafas lega karena akhirnya saya sampai di pos 6. Saya fikir tenda
sudah di bongkar namun kenyataannya belum. Setelah sholat dzuhur kami pun makan
dan setelah itu kami packing barang-barang dan membongkar tenda dan kemudian
bersiap-siap untuk turun kembali. Sepanjang perjalanan turun kabut pun
kembali datang menemani perjalanan kami. Tracknya pun agak sedikit licin karena
habis hujan walaupun tidak terlalu deras. Lagi-lagi saya harus berjalan sendiri
ketika sudah setengah perjalanan turun karena pergelangan kaki saya masih sakit
dan ada hal yang bikin deg-degan ketika saya harus melewati pemukiman penduduk
dan tiba-tiba saya dihadang beberapa ekor anjing. Saya pun hampir berlari
kembali ke atas gunung namun ada seorang ibu-ibu yang memanggil anjing-anjing
tersebut dan akhirnya saya pun bergegas berlari menjauhi area tersebut.
Akhirnya saya pun sampai di tempat kami memarkir motor dan kami pun
bersiap-siap untuk kembali ke kabupaten Luwu. Sebelum kembali tak lengkap
rasanya jika tidak membeli oleh-oleh khas Tana Toraja. Apalagi Ammink yang sedari
diatas puncak sangat ngotot untuk singgah ditempat souvenir terlebih dahulu
sebelum pulang. Kami pun menuju daerah wisata Ke’te Kesu mencari souvenir namun
toko yang terbuka tinggal satu itupun sudah mau tutup. Karena tidak puas
terutama Ammink yang kebetulan mau cari gelang couple maka dia pun bertekad
mencari toko souvenir sepanjang jalan sampai dapat. Ya saya nurut aja karena
kebetulan saya dibonceng sama Ammink. Sebenarnya kami masih mau ngecamp di
Toraja dan keesokan harinya baru jalan-jalan nyari souvenir namun karena Ugha
yang sudah ngotot pengen pulang akhirnya kami pulang. Kami pun menemukan toko
yang berjejeran dipinggir jalan tak jauh pos polisi di Rantepao yang menjual
sangat banyak souvenir khas Toraja. “Sial… kenapa tidak diliat ini tempat dari
tadi” kataku sambil turun dari motor. Padahal kami melewati toko-toko itu
ketika menuju Ke’te Kesu. Saya dan Ammink pun berjalan dari satu toko ke toko
yang lain dan mencari barang yang disukai. Sepertinya Ugha dan Fifi sudah lewat
dan meninggalkan kami karena mereka sebenarnya tidak tau kami singgah. Namun
kami tetap mencari sampai dapat gelang yang dicari Ammink dari tadi walaupun
kami harus terpisah dengan Ugha dan Fifi. Setelah dapat akhirnya kami berdua
pergi mencari Ugha dan Fifi barangkali saja mereka menunggu kami di depan.
Namun sepertinya tidak dan akhirnya kami memutuskan untuk pulang berdua saja.
Sepanjang perjalanan pulang, kami tak banyak bicara karena kami fokus pada
fikiran masing-masing. Jalan sangat gelap dan sunyi. Tak banyak lampu jalan dan
rumah penduduk pun jarang. Hal yang ada dalam fikiranku dengan kondisi saat itu
yaitu apa yang akan kami lakukan jika motor yang kami kendarai tiba-tiba
trouble ditambah handphone yang mati sejak di puncak gunung tadi. Saya sengaja
batuk-batuk dan membuat suara-suara lainnya hanya untuk memecah kesunyian dan
fikiran macam-macam sepanjang jalan. Perjalanan yang menegangkan selama kurang
lebih 3 jam akhirnya berakhir setelah kami memasuki area kota Palopo. Laju
motor yang tadinya kencang akhirnya melambat dan akhirnya suara Ammink
tiba-tiba memecah kesunyian dibawah remang-remang lampu kota. Masih membahas
rencana di Toraja tadi buat camp satu malam lagi namun apa daya tidak untuk
kali ini.
Hmmm… saya
mengucapkan terima kasih buat teman-teman yang rasanya sudah saya anggap
sebagai saudara untuk trip kali ini yang sangat menyenangkan. Semoga kita bisa
melakukan perjalanan dan petualangan berikutnya. Terima kasih juga buat Tuhan
yang telah menciptakan bumi yang indah. Terima kasih telah menciptakan Tana
Toraja. Dan saya pun berharap bisa kembali datang ke tempat ini di lain waktu.
See u soon!
Wow, ngintip blog aku
BalasHapus